Sabtu, 10 Desember 2011

Ambisi Iklan Politik

Pengajar : Pak Eko Harry Sutanto, Dekan Fikom

Badai iklan Politik secara rutin menginvasi media massa Indonesia setiap 4 tahun sekali. Bujet belanja iklan politik ini memang gila, 2 Triliun rupiah totalnya pada tahun 2009. Masalahnya, apakah bujet iklan tersebut sebanding dengan hasilnya? Apakah efektif dapat mempengaruhi pilihan rakyat atau hanya sekedar selingan rutin yang menemani makan malam kita? Tujuan dramatisasi iklan untuk membentuk citra kandidat tersebut adalah pesan kampanye iklan.

Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin berbicara tentang isu-isu kebijakan. Poin2 ini akan dirangkum dari ide utama dari kampanye dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih. Dalam banyak pemilihan, para kandidat partai politik akan selalu mencoba untuk membuat para kandidat atau calon lain menjadi "tanpa pesan" berkaitan dengan kebijakannya atau berusaha untuk pengalihan pada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan poin kebijakan atau program.

Sebagian besar strategis kampanye menjatuhkan kandidat atau calon lain yang lebih memilih untuk menyimpan pesan secara luas dalam rangka untuk menarik pemilih yang paling potensial. Sebuah pesan yang terlalu sempit akan dapat mengasingkan para kandidat atau calon dengan para pemilihnya atau dengan memperlambat dengan penjelasan rinci programnya. Misalnya, dalam Pemilu 2008 dari pihak John McCain awalnya mempergunakan pesan yang berfokus pada patriotisme dan pengalaman politik; pesan itu kemudian ditangkap dan diubah menjadi perhatian beralih ke peran sebagai "maverick" di dalam pendirian politiknya sedangkan Barack Obama tetap pada konsistensi, pesan yang sederhana yang "mengubah" seluruh kampanye itu.

Dalam tekhnik kampanye politik kemenangan kandidat atau calon yang dilakukan di dalam jajak pendapatkan hanya dipergunakan sebagai agenda politik di kantor staf pemenangan kandidat atau calon. Pengalaman Pemilu Indonesia tahun 2009 membuktikan bahwa ultra bujet 2 Triliun untuk belanja Iklan tidak mempengaruhi pilihan rakyat.

Berdasarkan riset The Nielsen jumlah golongan putih (golput) atau rakyat yang tidak menggunakan suaranya meningkat sebesar 27,77% dari Pemilu tahun 2004. Lantas buat apa obsesi gila seperti ini terus ditingkatkan? Bukankah lebih baik rakyat diberikan perhatian dalam sektor yang lebih krusial, dibandingkan menghamburkan uang untuk jadi pemimpin tersohor, namun tiada imbas baik terhadap kepentingan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar