Minggu, 09 Oktober 2011

Transformasi Media di Indonesia

Pengajar : Sandra (Jurnalis Tempo)

Sejarah media:

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Gerak gerik Media di Indonesia waktu itu sangat dibatasi oleh pemerintah. Segala hal yang berkaitan dengan praktik KKN tidak diperkenankan untuk dipublikasi. Media harus mendukung pemerintah.

Hari ini demokrasi mulai berjalan di Indonesia dan dapat dikatakan cukup baik, karena pers menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, aktual, dan buka bukaan.

Sekarang terlihat kasat mata negara ini keropos karena digrogoti korupsi. Sebenarnya hal ini bukanlah hal baru. Korupsi telah terjadi puluhan tahun yang lalu, hanya saja waktu itu rakyat tidak mengetahuinya dengan jelas. Bukan berarti Indonesia sedang tenggelam. Justru sekarang kita mulai bangun dari tidur panjang, menyusun kepingan hancur negeri ini untuk bangkit lagi melalui media yang transparan. Rakyat perlahan dididik untuk kritis dan berani mengungkapkan pendapat secara lantang kepada pemimpin pemimpin negara yang lupa akan tanggung jawabnya.

Media Sosial

Hari ini semua orang bisa menjadi citizen journalist yang indipenden. Akses berita maupun publikasinya dapat dilakukan melalui genggaman telepon selular.

Media sosial adalah sebuah media online dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, sosial network atau jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki mungkin merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content

Media sosial adalah fenomena yang populer hari ini, tidak hanya digunakan oleh masyarakat awam, sekarang media juga membidik jejaring sosial karena target audience nya yang sangat luas dan lebih efektif, fleksibel dan interaktif. Tidak diperlukan ongkos produksi yang mahal, karena jejaring social bersifat gratis namun sanagat besar dampaknya.

Media dan Budaya Massa


Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.

Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi sekaligus dikonsumsi secara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya. Budaya massa ini adalah sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, dimana budaya tradisional ini muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa. Budaya tradisional itu sendiri terbangun dari proses adaptasi dari interaksi kelas elit masyarakat dalam hal estetika, sangat mengagungkan kesusatraan dan tradisi keilmuan.

Budaya massa memiliki beberapa katrakter (dalam Burhan Bungin,2009: 77-78) yaitu sebagai berikut:

1. Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer. acara-acara infotainment,seperti indonesian idol, Penghuni terakhir, dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini.

2. Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite, namu apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini makaitu bagian dari basis assa itu sendiri.

3. Budaya massa juga memproduklsi budaya massa seperti infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum.

4. Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa bukan popular kalau budaya massa artiya budaya tradisional daqpat menjadi budaya popular apabila menjadi budaya massa. Contohnya srimulat, ludruk, maupun campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini berkembang di masyarakat tradisioanal dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massamaka sntuhan popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itubaik kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara massalmenjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan.

5. Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang diinvestasikan pada kegiatan tersebut.

6. Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budqaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal.

Pada budaya massa, sebagai kritik atas budaya tradisional, merujuk kepada proses pluralisme dan demokrasi yang kental, berusaha untuk menghilangkan kelas-kelas yang mendasarkan dirinya pada budaya modal, borjuasi dan elitisme, dengan mengedepankan kebersamaan dan egalitarianisme. Namun secara negatif, budaya massa juga banyak diartikan sebagai perilaku konsumerisme, kesenangan universal yang bersifat hanya seketika, mudah punah, dan memiliki makna yang dangkal dan tidak bersifat ganda, mengacu kepada pengertian produk budaya yang diciptakan semata-mata untuk pasar. Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar.

Media massa seperti radio dan film mentransmisikan dan menanamkan ideologi resmi negara fasis karena dapat dikendalikan dari pusat dan dapat menyiarkan kepada penduduk secara umum. Ketiadaan organisasi-organisasi politik tandingan di dalam masyarakat totaliter hanya ditambahkan pada efesiensi persamaan ini: media massa menandingi propaganda massa dan menandingi represi massa. Keberadaan sarana-sarana yang sangat efektif dalam mencapai orang dalam jumlah besar di dalam masyarakat dengan sistem politik terpusat dan totaliter dipandang oleh orang banyak sebagai suatu cara lain, disertai paksaan untuk mengakarkan sistem semacam itu dan menghalangi berbagai alternatif demokratis.

REGULASI MEDIA PENYIARAN


Dosen : Bapak Paulus Widiyanto

Hampir sepanjang hari, mayoritas masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya di depan pesawat televisi lebih dari 8 jam setiap hari.

Konsumsi media televisi demikian bahkan lebih besar dari konsumsi media lainnya, semisal membaca koran, majalah, mendengarkan radio atau mengakses internet.

Televisi adalah domain media terbesar di Indonesia, di mana penetrasi media televisi mencapai 90,7%, radio 39 %, surat kabar 29,8%, majalah, 22,4%, internet 8,8% dan orang menonton bioskop 15 % (Media Index-Nielsen Media Research dalam Wirodono, 2005). Data ini menunjukkan bahwa televisi lebih dominan daripada media lainnya, terutama dalam hal menjangkau semua lapisan masyarakat baik dari perspektif ekonomi politik hingga demografi khalayak.

Konsekuensi logisnya adalah televisi memberikan imbas luar biasa besar bagi kehidupan masyarakat. Kehadirannya yang masif plus kepentingan kapitalistiknya yang kental, langsung dan tidak langsung dapat berpengaruh pada perilaku dan pola pikir masyarakat.



Mengapa Regulasi Penting?

Sehubungan dengan fakta empiris bahwa saat ini media televisi lebih dipandang dari perspektif bisnis atau market regulation (Pasca Reformasi) kebalikan dari perspektif state regulation (seperti di era Orde Baru) tentu saja dibutuhkan sebuah regulasi atau pengaturan yang menjadi panduan para pemilik dan pengelola stasiun televisi dalam memproduksi dan menyiarkan materi siaran mereka. Dengan demikian pemilik media penyiaran tidak serta merta menjadikan bisnis menjadi acuan, namun juga tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip idealistik yang lebih menyentuh pada pencerdasan khalayak.

ada tiga hal penting mengapa regulasi penyiaran tersebut dipandang penting.

1. dalam iklim demokrasi, salah satu urgensi yang mendasari penyusunan regulasipenyiaran adalah hak asasi manusia untuk bebas berbicara (freedom of speech).

Namun masalahnya kegiatan penyiaran yang berkenaan dengan penggunaan spektrum gelombang/frekuensi radio, perlu disiasati dengan regulasi mengenai kriteria tentang pengaturan alokasi media.

2. demokrasi menghendaki adanya ”sesuatu” yang menjamin keberagaman politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan aliran ide dan posisi dari kelompok minoritas.

3. terdapat alasan ekonomi mengapa regulasi media diperlukan. Tanpa adanya regulasi bisa jadi terjadi monopoli media atas media lainnya dan menciptakan keadaan yang tidak sehat sehingga masyarakat tetap menjadi korbannya.

Belum lagi jika membandingkan dengan konsep public sphere dari Juergen Habermans, yang menyatakan stasiun televisi menggunakan frekuensi milik rakyat, jadi sudah seharusnya mereka mengakomodir kepentingan rakyat.

Menurut Feintuck (1998:51), dewasa ini regulasi mengenai pengaturan penyiaran mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioral regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.

Pada tataran hakikatnya dapat dilihat bahwa regulasi media merupakan konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang diciptakan oleh manusia. Dalam hal ini, institusi yang berwenang membuat regulasi yang tetap adalah pemerintah. Regulasi media harus dilihat sebagai satu keseluruhan permainan tiga aktor utama dari percaturan media massa terutama di Indonesia, yaitu pasar, masyarakat, dan negara. Hubungan antara tiga aktor utama itu bersifat mendua. Pertama, artinya bahwa hubungan yang baik ketika tiga aktor tersebut bisa menjalin hubungan yang harmonis dan saling mengisi. Kedua, artinya bahwa hubungan antara ketiga aktor tersebut ada pihak yang mendominasi pihak lain.


Media massa berinteraksi dengan lembaga sosial yang lainnya.Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga yang lanilla.Maka dalam keadaan seperti ini media mempunyai regulasi.Regulasi yang dimaksud terhadap media massa dapat berbentuk peraturan pemerintah,keputusan pemerintah,dan Undang-undang.

peranan regulasi media penyiaran adalah instrumen untuk membatasi media massa agar berjalan sesuai norma dan etika, menjunjung tinggi independensi, dan tidak melulu bergerak sesuai dengan kepentingan pemilik media semata.

Regulasi media massa juga melibatkan kebijakan media massa dimana kebijakan ini merupakan upaya untuk mengatur keberadaan media massa dan industrinya.Kebijakan media massa merupakan kebijakan komunikasi.